Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi
mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini
hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong
kesatuan muslim dengan cara menolak imperium ‘Utsmaniah dan kekhalifahan muslim.
Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum
muslimin dan jadi aktif dalam urusan agamanya. Namun, saat itu fokus
tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada kebangkitan Islam.
Sayyid Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan
Islam pada dasawarsa terakhir. Ia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh
muslim India Utara) di Aurangabad, India Selatan, tepatnya pada 25 September
1903 (3 Rajab 1321 H). Rasa dekat keluarga ini dengan warisan pemerintahan
Muslim India dan kebenciannya terhadap Inggris, memainkan peranan sentral dalam
membentuk pandangan Maududi di kemudian hari.
Ahmad Hasan, ayahnya Maududi, sangat menyukai tasawuf. Ia berhasil
menciptakan kondisi yang sangat religius dan zuhud bagi pendidikan anak-anaknya.
Ia berupaya membesarkan anak-anaknya dalam kultur syarif. Karenanya, sistem
pendidikan yang ia terapkan cenderung klasik. Dalam sistem ini tidak ada
pelajaran bahasa Inggris dan modern, yang ada hanya bahasa Arab, Persia, dan
Urdu. Karena itu, Maududi jadi ahli bahasa Arab pada usia muda.
Pada usia sebelas tahun, Maududi masuk sekolah di Aurangabad. Di
sini ia mendapatkan pelajaran modern. Namun, lima tahun kemudian ia terpaksa
meninggalkan sekolah formalnya setelah ayahnya sakit keras dan kemudian wafat.
Yang menarik, pada saat itu Maududi kurang menaruh minat pada soal-soal agama,
ia hanya suka politik. Karenanya, Maududi tidak pernah mengakui dirinya sebagai
‘alim. Kebanyakan biografi Maududi hanya menyebut dirinya sebagai jurnalis yang
belajar agama sendiri. Semangat nasionalisme Indianya tumbuh subur. Dalam
beberapa esainya, ia memuji pimpinan Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi
dan Madan Muhan Malaviya.
Pada 1919 dia ke Jubalpur untuk bekerja di minggua partai pro
Kongres yang bernama Taj. Di sini dia jadi sepenuhnya aktif dalam gerakan
khilafah, serta aktif memobilisasi kaum muslim untuk mendukung Partai Kongres.
Kemudian Maududi kembali ke Delhi dan berkenalan dengan pemimpin
penting Khilafah seperti Muhammad ‘Ali. Bersamanya, Maududi menerbitkan surat
kabar nasionalis, Hamdard. Namun itu tidak lama. Selama itulah pandangan politik
Maududi kian religius. Dia bergabung dengan Tahrik-I Hijrah (gerakan hijrah)
yang mendorong kaum muslim India untuk meninggalkan India ke Afganistan yang
dianggap sebagai Dar al-Islam (negeri Islam).
Pada 1921 Maududi berkenalan dengan pemimpin Jami’ati ‘Ulama Hind
(masyarakat ulama India). Ulama jami’at yang terkesan dengan bakat maududi
kemudian menarik Maududi sebagai editor surat kabar resmi mereka, Muslim. Hingga
1924 Maududi bekerja sebagai editor muslim. Disinilah Maududi menjadi lebih
mengetahui kesadaran politik kaum muslimin dan jadi aktif dalam urusan agamanya.
Namun, saat itu tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada kebangkitan Islam.
Di Delhi, Maududi memiliki peluang untuk terus belajar dan
menumbuhkan minat intelektualnya. Ia belajar bahasa Inggris dan membaca
karya-karya Barat. Jami’at mendorongnya untuk mengenyam pendidikan formal agama.
Dia memulai dars-I nizami, sebuah silabus pendidikan agama yang populer di
sekolah agama Asia Selatan sejak abad ke delapan belas. Pada 1926, ia menerima
sertifikat pendidikan agama dan jadi ulama.
Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi
mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini
hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong
kesatuan muslim dengan cara menolak imperium ‘Utsmaniah dan kekhalifahan muslim.
Dia juga tak lagi percaya pada nasionalisme India. Dia beranggapan bahwa Partai
Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen nasionalis.
Dia ungkapkan ketidaksukaannya pada nasionalisme dan sekutu muslimnya.
Sejak itu, sebagai upaya menentang imperialisme, Maududi
menganjurkan aksi Islami, bukan nasionalis. Ia percaya aksi yang ia anjurkan
akan melindungi kepentingan muslimin. Hal ini memberi tempat bagi wacana
kebangkitan.
Pada 1925, seorang Muslim membunuh Swami Shradhnand, pemimpin
kebangkitan Hindu. Swami memancing kemarahan kaum muslimin karena dengan
erang-terangan meremehkan keyakinan kaum muslimin. Kematiannya Swami menimbulkan
kritik media massa bahwa Islam adalah agama kekerasan. Maududi pun bertindak. Ia
menulis bukunya yang terkenal mengenai perang dan damai, kekerasan dan jihad
dalam Islam, Al Jihad fi Al Islam. Buku ini berisi penjelasan sistematis sikap
Muslim mengenai jihad, sekaligus sebagai tanggapan atas kritik terhadap Islam.
Buku ini mendapat sambutan hangat dari kaum muslimin. Hal ini semakin menegaskan
Maududi sebagai intelektual umat.
Sisa terakhir pemerintahan muslim pada saat itu kelihatan semakin
tidak pasti. Maududi pun berupaya mencari faktor penyebab semakin pudarnya
kekuasaan muslim. Dia berkesimpulan, selama berabad-abad Islam telah dirusak
oleh masuknya adat istiadat lokal dan masuknya kultur asing yang mengaburkan
ajaran sejatinya. Karenanya Maududi mengusulkan pembaharuan Islam kepada
pemerintahan saat itu, namun tidak digubris. Hal ini mendorong Maududi mencari
solusi sosio-politik menyeluruh yang baru untuk melindungi kaum muslimin.
Gagasannya ia wujudkan dengan mendirikan Jama’at Islami (partai
Islam), tepatnya pada Agustus 1941, bersama sejumlah aktifis Islam dan ulama
muda. Segera setelah berdiri, Jama’ati Islami pindah ke Pathankot, tempat dimana
Jama’at mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi, dan rencana
aksi.
Sejak itulah Maududi mengosentrasikan dirinya memimpin umat menuju
keselamatan politik dan agama. Sejak itu pula banyak karyanya terlahir di
tengah-tengah umat. Ketika India pecah, Jama’at juga terpecah. Maududi, bersama
385 anggota jama’at memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan Maududi
sebagai pemimpinnya. Sejak itu karir politik dan intelektual Maududi erat
kaitannya dengan perkembangan Jama’at. Dia telah "kembali" kepada Islam, dengan
membawa pandangan baru yang religius
0 komentar :
Posting Komentar